Pengertian Pemerolehan Bahasa Pertama
Secara harafiah pemerolehan bahasa pertama dapat diartikan sebagai penerimaan pesan berupa bunyi-bunyi oleh anak semenjak ia masih bayi. Kita semua tidak menyangkal akan kesanggupan seorang anak yang biasa berkomunikasi dalam usia yang masih terhitung hari, minggu atau bulan. Kegiatan awal seorang bayi adalah meraba, berceloteh atau menangis. Ia juga bisa mengkomunikasikan sejumlah pesan baik secara vokal maupun non vokal.
- Pemerolehan Bahasa Pertama juga bisa diartikan bagaimana anak memperoleh bahasa ibu tanpa kesengajaan dan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan tersebut adalah orang-orang yang ada di sekitarnya dan ragam bahasa yang digunakan oleh mereka yang sempat tertangkap oleh daya simak seoarang anak. Pada kenyataannya anak yang normal memperoleh bahasa pertama dari orang-orang yang ada disekitarnya. Sementara kita mengesampingkan dahulu terhadap keadaan anak yang ‘tuli’ atau ‘bisu’. Pemerolehan bahasa ini tanpa diminta, tanpa disengaja dan tanpa diperintah. Sebagaimana sifat dasar anak adalah meng’imitasi’ dari sifat orang tuanya atau dari lingkungan tempat ia tinggal dan berkembang.
Sampai pada tahap-tahap pembelajaran bahsa yang lebih tinggi, pemerolehan bahasa pertama memegang peranan penting. Pemerolehan bahasa kedua dan selebihnya merupakan penerus dari pemerolehan bahasa pertama. Jika seorang anak dibesarkan dalam lingkungan bahasa yang beragam dan sehat, maka ia akan memiliki kemampuan bahasa yang tinggi. Begitu juga sebaliknya
. Pengertian Pemerolehan Bahasa
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (Bl) (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Penelitian mengenai bahasa manusia telah menunjukkan banyak hal mengenai pemerolehan bahasa, mengenai apa yang dilakukan atau tidak dilakukan seorang anak ketika belajar atau memperoleh bahasa (Fromkin dan Rodman, 1998:318).
1. Anak tidak belajar bahasa dengan cara menyimpan semua kata dan kalimat dalam
sebuah kamus mental raksasa. Daftar kata-kata itu terbatas, tetapi tidak ada kamus
yang bisa mencakup semua kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
2. Anak-anak dapat belajar menyusun kalimat, kebanyakan berupa kalimat yang belum
pernah mereka hasilkan sebelumnya.
3. Anak-anak belajar memahami kalimat yang belum pernah mereka dengar
sebelumnya. Mereka tidak dapat melakukannya dengan menyesuaikan tuturan yang
didengar dengan beberapa kalimat yang ada dalam pikiran mereka.
Anak-anak selanjutnya harus menyusun “aturan” yang membuat mereka dapat menggunakan bahasa secara kreatif. Tidak ada yang mengajarkan aturan ini. Orang tua tidak lebih menyadari aturan fonologis, morfologis, sintaktis, dan semantik daripada
anak-anak. Selain memperoleh aturan tata bahasa (memperoleh kompetensi linguistik), anak-anak juga belajar pragmatik, yaitu penggunaan bahasa secara sosial dengan tepat, atau disebut para ahli dengan kemampuan komunikatif. Aturan-aturan ini termasuk mengucap salam, kata-kata tabu, bentuk panggilan yang sopan, dan berbagai ragam yang sesuai untuk situasi yang berbeda. Ini dikarenakan sejak dilahirkan, manusia terlibat dalam dunia sosial sehingga ia harus berhubungan dengan manusia lainnya. Ini artinya manusia harus menguasai norma-norma sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Sebagian dari noraia ini tertanam dalam bahasa sehingga kompetensi seseorang tidak terbatas pada apa yang disebut pemakaian bahasa (language usage) tetapi juga penggunaan bahasa (language use) (Dardjowidjojo, 2000:275).
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Dalam melangsungkan upaya memperoleh bahasa, anak dibimbing oleh prinsip atau falsafah ‘jadilah orang lain dengan sedikit perbedaan’, ataupun ‘dapatkan atau perolehlah suatu identitas sosial dan di dalamnya, dan kembangkan identitas pribadi Anda sendiri’.
2. Masa Waktu dan Perkembangan Pemerolehan Bahasa
Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan.
Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua khususnya ibu) dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. la berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata
anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian.
Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA).
Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek dan asosiasi objek dengan orang.
Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang yaitu kemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi.
Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyi menuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua bunyi dapat dikenali selama tahun pertama yaitu (1) periode vokalisasi dan prameraban serta (2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaan bunyi perseptual yang penting selama periode ini, misalnya membedakan antara bunyi suara insani dan noninsani antara bunyi yang berekspresi marah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan orang dewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-makna berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dari waktu ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulai menghasilkan segmen bunyi tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka.
Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian yaitu perkembangan negatif/penyangkalan, perkembangan interogratif/pertanyaan, perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi.
Ada tiga tipe struktur interogatif yang utama untuk mengemukakan persyaratan, yaitu pertanyaan yang menuntut jawaban ya atau tidak, pertanyaan yang menuntut informasi, dan pertanyaan yang menuntut jawaban salah satu dari yang berlawanan (polar).
Penggabungan beberapa proposisi menjadi sebuah kalimat tunggal memerlukan rentangan masa selama beberapa tahun dalam perkembangan bahasa anak-anak.
B. Pemerolehan Pragmatik
Pragmatik bukanlah salah satu komponen dalam bahasa; kajian ini hanya memberikan perspektif pada bahasa. Karena pragmatik menyangkut makna maka sering kali ilmu ini dikelirukan dengan ilmu tentang makna, semantik. Perkembangan kedua ilmu ini bahkan menimbulkan semacam perebutan wilayah karena satu dianggap telah memasuki wilayah yang lain. Akan tetapi, apabila diamati secara lebih cermat maka akan terlihat bahwa semantik mempelajari makna dalam bahasa alami tanpa memerhatikan konteksnya. Sementara itu, pragmatik merujuk kepada kajian makna dalam interaksi antara seorang penutur dengan penutur yang lain (Jucker, 1998, dalam http://bmp6103.blogspot.com/2007/07/ra.html).
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat defmisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi
ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefmisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Pragmatik itu sendiri menurut Leech (1983:6) adalah studi tentang makna ujaran di dalam situasi-situasi tertentu. Lebih lanjut ia juga menyatakan bahwa pragmatik merupakan kajian mengenai makna di dalam hubungannya dengan situasi ujar. Dari pengertian mi terlihat bahwa kedua batasan tersebut mengeksplisitkan makna, yang kemudian di dalam pragmatik disebut maksud. Lebih lanjut lagi, Gunarwan menyebutkan salah satu defmisi pragmatik, yaitu kajian mengenai kemampuan pengguna bahasa untuk menyesuaikan kalimat dengan konteks sehingga kalimat itu patut diujarkan (dalam Rustono, 1999:2). Jadi pragmatik berkaitan dengan penggunaan bahasa, atau maksud di balik suatu tuturan. Penggunaan bahasa yang tepat harus diperoleh seorang anak karena kemampuan berbahasa yang baik tidak hanya terletak pada kepatuhan terhadap aturan gramatikal tetapi juga pada aturan pragmatik. Menurut Ninio dan Snow (dalam Dardjowidjojo, 2000:43-48), mau tidak mau seorang anak mengembangkan pengetahuan yang diperlukan agar dalam situasi komunikasi bahasa yang dia pakai itu pantas, efektif, dan sekaligus mengikuti aturan gramatikal.
Lebih lanjut mereka juga menyatakan bahwa untuk menelusuri kemampuan pragmatik seorang anak, paling tidak ada tiga hal yang perlu dipelajari, yaitu: 1. Pemerolehan niat komunikatif Ninio dan Snow mendapati bahwa dalam mewujudkan
niat komunikatif secara verbal, terdapat urutan yang dilandaskan pada berbagai
kepentingan pragmatik seperti:
a. Kepentingan ujaran: bertitik tolak pada sudut pandang anak sehingga jenis
ujaran yang muncul juga mencerminkan kepentingan tersebut.
b. Peran kelayakan ujaran: ujaran untuk meminta sesuatu pasti lebih dahulu
dikuasai daripada jenis ujaran yang lain.
c. Kompleksitas kognitif: merujuk pada titik pandang yang lebih terarah kepada
diri sendiri.
2. Pengembangan kemampuan untuk bercakap-cakap Anak secara bertahap dapat
menguasai aturan-aturan yang ada dalam percakapan yang terdiri atas tiga komponen,
yaitu pembukaan, giliran, dan penutup. Kalimat yang diucapkan juga harus
membentuk pasangan serasi (adjacency pairs).
3. Pengembangan peranti wacana Percakapan antara anak dengan orang lain dapat
berjalan lancar karena:
a. Pendengarnya adalah orang-orang dekat yang mengenal perilakunya sehingga
mereka memahami apa yang dikatakan anak.
b. Pendengar memberikan dukungan konversasional kepada anak.
Hal yang dibicarakan umumnya berkaitan dengan ihwal sini dan kini. Kekonkretan benda dan rujukan peristiwa yang sedang berlangsung memudahkan anak untuk berbicara
C. Tindak Tutur
Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.
Di dalam bukunya How to Do Things with Words, Austin (1962:1-11) membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji benar atau salah dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia. Sedangkan tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau tidak. Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan: (1) tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut
kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.
Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), memasukkan ujaran konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian dari performatif (Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam contoh (4), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa rumah Joni terbakar.
Pencetus teori tindak tutur, Searle (1975:59-82) membagi tindak tutur menjadi lima kategori:
1. Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas
apa yang diujarkan
2. Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar
melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu
3. Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya
diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.
4. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang
disebutkan di dalam tuturannya
5. Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk
menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru.
Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur langsung. Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan mernerintahkan mitra tutur melakukan sesuatu. Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah yang yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk bertanya atau memerintah atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak konvensional, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Sehubungan dengan kelangsungan dan ketaklangsungan tuturan, tindak tutur juga dibedakan menjadi tindak tutur harfiah
(maksud sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya) dan tidak harfiah (maksud tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya). Jika dua jenis tindak tutur, langsung dan taklangsung, digabung dengan dua jenis tindak tutur lain, harfiah dan takharfiah, diperoleh empat macam tindak tutur interseksi, yaitu (1) tindak tutur langsung harfiah, (2) tindak tutur langsung takharfiah, (3) tindak tutur taklangsung harfiah, (4) tindak tutur taklangsung takharfiah.
Di tinjau dari sudut pandang kelayakan pelaku tindak tutur, Fraser (1974) mengemukakan dua jenis tindak tutur : (1) vernakuler, yaitu tindak tutur yang dapat dilakukan oleh setiap anggota masyarakat, dan (2) seremonial, yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh orang yang berkelayakan untuk hal yang dituturkannya.
Sementara itu Bloom dkk. (dalam Carroll, 1999:297) meneliti sifat wacana orang dewasa dengan anak-anak dan mengategorikan jenis tuturan anak-anak sebagai berikut: Kategori Pengertian Nonadjacent Tuturan yang terjadi tanpa adanya tuturan orang dewasa sebelumnya, atau dengan jeda tertentu setelah tuturan orang dewasa. Adjacent Tuturan yang terjadi setelah tuturan orang dewasa. Noncontingent Tuturan yang tidak memiliki topik yang sama dengan tuturan orang dewasa yang mendahuluinya. Imitiative Tuturan yang berbagi topik yang sama dengan tuturan sebelumnya, tetapi tidak memberikan tambahan informasi; atau semua bagian tuturan yang mendahului diulang tanpa perubahan. Contingent Tuturan yang berbagi topik yang sama dengan tuturan sebelumnya dan memberikan informasi tambahan pada tuturan tersebut. Seorang anak harus dapat juga menguasai makna kalimat dan dampak ilokusionernya. Anak harus bisa menguasai tindak ujaran ilokusioner dengan baik, yaitu bagaimana dia menyatakan sesuatu, menanyakan sesuatu, dan seterusnya. Dore (dalam Dardjowidjojo, 200:277) menyebutkan jenis ujaran yang disebut Primitive Speech Act (PSA), yaitu labeling (menyatakan sesuatu), repeating (mengulang), answering (menjawab), requsting action (memberi perintah), requesting answer (bertanya), calling (memanggil), greeting (menyapa), protesting (memprotes), dan practicing (mempraktikkan).
Dalam bertutur terdapat prinsip percakapan yang mengatur apa yang harus dilakukan pesertanya agar percakapan terdengan koheren. Prinsip percakapan menurut Grice (dalam Rustono, 1999:54-57) terdiri atas empat bidal, yaitu:
1. Bidal kuantitas, yaitu menyangkut jumlah kontribusi terhadap koherensi
percakapan.
2. Bidal kualitas, berisi nasihat untuk memberikan kontribusi yang benar dengan
bukti-bukti tertentu.
3. Bidal relevansi, menyarankan penutur untuk mengatakan apa-apa yang relevan.
4. Bidal cara, menyarankan penutur untuk mengatakan sesuatu dengan jelas.
No comments:
Post a Comment